SANG PENGARANG,
KELELAWAR & RERUNTUHAN CAHAYA
DI HIJI TEMPAT NU
BIASA
Atas
kuasa gelap, dan mata yang dibutakan cahaya. Maka, kupinjam penglihatan
kelelawar seperti dalam puisi cinta Ibn Arabi. Lalu, kudiami reruntuhan
bangunan, menajamkan mataku yang lemah, berdialog dengan apa yang kulihat dan
membawa reruntuhan pemikiranku sebagai apresiasi terhadap pertunjukan drama “Di
Hiji Tempat Nu Biasa” garapan Teater Dongkrak yang akan dipentaskan kembali,
Selasa, 15 Desember 2015 di Gedung Kesenian Tasikmalaya.
Pada mulanya; Seorang pengembara, ikhtiar
yang muskil dan perjalanan menuju kesunyataan. Dalam kelelahan pencariannya, ia
tertidur berbantalkan batu dan bermimpi tentang tangga menuju kahyangan. Sampailah
ia pada semerbak dupa, dan lidah perapian yang menjilati kotoran jiwa. Di persinggahan
celah langit dan rongga bumi itulah, orang-orang suci memotong lidah untuk
merahasiahkannya. Ia tak menemukan apapun selain tilas gamang. Dihadapan
nirwaktu, para Sanghiyang tilem. Ia kemudian terbangun, menyusun batu
disekitarnya menyerupai tangga dalam mimpi, membawa ritual sesembahan yang semula
transenden menjadi pencapaian kewaskitaanya (intelektual) dalam menerjemahkan
naskah Di Hiji Tempat Nu Biasa. Terlemparlah sang diri menemui denyut hening naskah.
Ia menemukan titik yang sama, tangga sakral penghubung jagat sekala-niskala,
diktum sakral-profan melalui simbol cahaya yang dipercaya sebagai ambrosia
(sesajen) bagi sanghiyang dewata.
Dengan mantra hukum ke tujuh, kord surgawi,
dan akal kesepuluh. Siapa yang lupa dengan asal suara? Denting adalah kuncup suara
pembuka pertunjukan. Kelopak irama mekar, menghasilkan bunyi musik yang
terdengar acak. Lalu, sunyi, tak ada suara. Dari sudut tergelap, tarian cahaya
hadir dipersembahkan houri-houri (bidadari
surga) mengikuti irama detak jantung. Perlahan, spektrumnya bergetar lalu pecah,
menghadirkan kelahiran semesta yang semerawut menuju keselarasan dalam tangga
harmonik tubuh manusia. Seperti alur dalam hidup. Siapa yang mampu menyesuaikan
diri, mengikuti arusnya akan menemukan semesta kesadaran bahwa segala sesuatu berjalan
karena ada getaran. Tanpanya, tak ada gerak, tak ada adegan, tak ada peristiwa
kehidupan.
Panggung gelap. Di singgasana—tempat yang
sedemikian kuasanya, sang pengarang gelisah dalam kesendirian. “Di dieu, sakabehna bakal kajadian. Sanggeus
lalangse dibuka. Urang dipatepungkeun ku saban adegan. Nepungan sakur
implengan. Nu kasampeur jeng nu kudu diiklaskeun. Enya, di tempat nu geus jadi
milik urang. Tempat urang ngareka ungkara, ngimpleng ku rasa wenang. Najan
mindeng kudu beda ulesna jeng nu di pikahayang,” ucapnya hibiru, menceritakan pengetahuan yang
hilang. Hening, gulita memelukku. Terdengarlah beradunya dua batu besar. Pembacaanku
menjadi lengkap, bilamana memahaminya dalam perspektif sufisme bahwa hal
pertama adalah mendengar, melihat lalu mendapatkan pengetahuan. Bukankah melalui
pendengaran, seorang murid mendapat pengetahuan dari gurunya? Sang pengarang sadar,
ia memberi penglihatan kepada penonton, dan mengutus para prajurit cahaya (pembawa
lampu senter) ke bibir panggung, menunjukan simbol persia kuno tentang
ketiadaan menuju keberadaan atau—meminjam uraian filsafat cahaya Al Ghazali
dalam kitab Misykat Al Anwar disebut penampakan objek dan subjek yang
memungkinkan terlihat karena ada unsur lain yaitu, cahaya—terlimpahi bentuk batu,
tokoh dan semua adegan oleh pancaran cahaya disertai bayangan di dinding
panggung. Seolah, menakwilkan laku pandita yang memahat ajarannya pada retakan
dinding suci, mewartakan realita hidup dalam perang abadi antara gelap dan
terang.
Cahaya sebagaimana gelap adalah simbol yang
membenihkan kejut dalam penggungkapannya. Aku menyebutnya, reruntuhan cahaya. Reruntuhan
berarti jamak, terjadi lebih sekali dan berterusan di tempat yang sama. Cahaya itu
jatuh, bukan berjatuhan. Sang pengarang merubah aturan dasar cahaya. Diawali
koor cluk-clak, terciptalah gerimis dari cahaya yang mengantarkan sepasang
kekasih dalam sebuah pertemuan. "Gerimisna
angger keneh, gerimis ti langit 13 taun ka tukang...ambuna, rasana taya
bedana..." perempuan cantik itu menutup payung dan membiarkan tubuhnya
dibasahi gerimis. Di Hiji tempat nu biasa, cahaya cinta merangkuhnya keduanya dalam
keseluruhan. Ada pula eksplorasi cahaya dalam memahamkan arti waktu, jarak dan
tingkatan. Seberapa lama dan seberapa dekat, sesuatu dengan sumber cahaya akan
lebih terlihat lebih jelas dan merujuk pada hirarki cahaya. Inilah yang
dimaksud kitab Hikmatul Isyraq kesadaran atas realita diri. Rahasia azali
sebagai kunci peralihan tunggal: menjadikan diri sebagai kolam jernih yang
menangkap cahaya bulan.
Dalam reruntuhan cahaya, kupinjam identitas kelelawar
berkaitan batas wilayah. Keterlibatanku dalam teater bukan atas ketertarikan
tapi secara tidak sengaja dipercaya dua kali sebagai tim visual dalam pertunjukan
Ambu Hawuk karya Ab Asmarandana sebagai tugas akhir kelulusan S2, ISI
Jogjakarta dan drama Di Hiji Tempat Nu Biasa, pemenang Festival Drama Basa
Sunda di gedung Rumentang Siang, Bandung. Tapi tulisan ini bukan tentang kemenangan,
melainkan kekesalanku menyebut petunjukan ini bagus tanpa mengerti arti bagus
itu sendiri. Kant menyebutnya pengalaman estetik, kemampuan seseorang menangkap
makna dan menemukan cerita atau merasakan emosinya. Dalam bahasa sederhana, inilah
caraku melihat tanda dan penanda dalam pertunjukan. Aku terjaga, menaklukan ketakutanku
atas cahaya yang membutakan mata, dan menemukan diriku dalam genggaman
rahasiah-Nya.
Siapa sang pengarang? Melalui penceritaan
siklikal, ia menciptakan dua tokoh berbeda cara pandang. Satu linear dan satu
lagi melingkar. Keduanya terjebak dalam daur Vaitarni yaitu pengulangan. Apa yang akan datang akan terus
mendatangimu, pergi sejauh apapun keduanya akan terjebak di tempat yang sama. Keduanya
berontak, dan marah atas takdir karena hidup tak lebih dari lingkaran. Hanya
yang mengenal rumus keliling, mengitarinya dan menarik garis radius menuju
titik pusat (diri) akan mendapatkan pencerahan. Bahkan aku menduga pengulangan pementasan
ini, menyisakan satu kemungkinan: pencarian jawab atas persoalan yang belum
selesai yaitu pencarian diri. Dalam teks filosofis, diri adalah cahaya (ruh) yang
menjadi ladasan segala pengetahuan. Adanya ruh memperkuat tiga alam sebelumnya,
menjadi bukti adanya Tuhan. Hanya ruh yang pernah mendiami sorga, menyaksikan
kelahiran semesta dan berdialog dengan Tuhan. Pertanyaannya, bagaimana manusia
tahu dirinya cahaya? Sejak lahir ingatannya terputus dan tugasnya di dunia adalah
menghubungkannya kembali. Tradisi Buddhisme
mengenal avidya (tidak melihat), anamnesis menurut Plato, proses
mengingat kembali karena kita lupa terhadap segala pengetahuan dan mulai
belajar segalanya dari awal lagi. Kesadaran inilah yang sedang diungkapkan,
ditenggelamkan, dikembalikan lagi pada kesadaran sampai kita semua memahaminya.
Seperti lilin dalam matahari, kau tidak menyadari dirimu cahaya kalau berada di
tengah Cahaya Maha Terang (Tuhan). Sang pengarang tahu jalan keluarnya. Lalu, ia
mengelilingi setiap tokohnya dengan kegelapan. "Di hiji tempat biasa, sakabehna bakal kajadian. Sakabehna bakal
diciptakeun. Tapi dina sakabeh lalakon taya nu bisa dicindeukkeun. Lian ti
kosong nu menta eusi. Lian ti eusi nu menta dikosongkeun deui. Kuring ngan
saukur pangarang, sedeng tokoh nu ku kuring diciptakeun, salawasna aya dina
saluareun carita nu teu bisa di peruhkeun....kuring ngan saukur pangarang,"
usai menyampaikan hakikat diri sebagai pengetahuan yang hilang. Di atas
singgasana, ia turun ke alam niskala, dan mengalami apa yang disebut kenosis,
mengosongkan diri menjadi seorang hamba.
Tapi siapa yang ada dibalik sang pengarang? Tentu
saja, ada dua nama Nunu Nazarudin Azhar sebagai penulis naskah dan Wit Jabo
sebagai sutradara yang mengingatkanku pada cerita Rama dan Krishna. Dua riwayat
hidup, berbeda petualangan. Saat Ramayana berakhir, Mahabharata dimulai, Rama
bertugas, Krishna pulang. Begitupula, Nazarudin Azhar dan Wit Jabo, saat naskah selesai, sutradara mengejawantahkannya dalam pertunjukan.
Aku melihat kesamaan, dua
wajah dengan karakter berbeda tapi satu dalam tubuh Teater Dongkrak.
Dalam diorama
singkat, ada pengetahuan yang hilang, selaksa hakikat diri yang menjadi pesan
pertunjukan. Meski kilasan impresiku, hampir menyandingkan kesendirian sang
pengarang dengan alam lata’yin semasa Tuhan bersendirian dengan diri-Nya, alam
ilmu-Nya dalam mencipta segala sesuatu, dan alam misal dalam dialog
pemberontakan? Bukan mustahil dalam pertunjukan nanti, diselipkan simbol permulaan
segala sesuatu yang tercipta dari satu bahan, subtansi yang sama dalam bentuk
berbeda yaitu cahaya. Dilanjutkan, ajaran rahasia sebagai puncak pengetahuan
yang kelak disampaikan mesiah di akhir zaman, dan maqam tertinggi yang mengantarkan
manusia mengenal hakikat Tuhan. Lalu, melengkapinya dengan simbol penutup kunhi
Zat sebagai batas penghabisan pengetahuan mahluk hidup. Akhirnya dalam ledakan
zarah yang belum kupahami seutuhnya. Cahaya dalam panggung padam total,
terhenti semua. Aku terbangun, seolah selesai memasuki mimpi. Argus memiliki ratusan
mata, Dasamuka puluhan mata, aku dan kau hanya sepasang mata. Siapa yang mampu
melihat dan memahaminya? Lupakan cahaya, ia bukan lenyap tapi senyatanya ada
dalam dirimu. Wilujeng Milangkala Teater Dongkrak Nu ka 25,
Prung ah!
Teks: Sys W, pegiat komunitas film dan aktif di Balaka.
Ilustrasi:
Wisnu Pamungkas, aktifis Senam Pensil, ISI Jogjakarta.