Rabu, 25 April 2012

FINDING MY SEASON’S POPCORN




Melacak mundur sejarah,menuruni anak tangga yang mengantarkanku pada sebuah hal ihwal ; gedung itu, poster hasil goresan tangan,penjaga loket, sobekan karcis,cemilan, lampu senter, dan deretan kursi yang menjadi bagian tak terpisahkan dari masa lalu, menyimpan sebuah cerita dibaliknya. Bukankah sesuatu itu menjadi lebih berharga saat kita merasa kehilangannya ?

Meski cukup lama berhembus, kiblat pertunjukan pertama di dunia tahun 1985 di Grand Café Boluvard De Capucines Paris dan pertunjukan ‘ gambar idoep’ pertama di Indonesia abad Ke 1900 di Kebondjae (Manage) Batavia (Jakarta) yang dikenal sebagai bioskop berasal dari bahasa Inggris ‘Bioscope’ (bios dari bahasa Yunani yang berarti hidup ) mengartikulasi perannya sebagai ‘babak baru’ dari semangat zaman,bertindak sebagai media politik penjajah, dan mempolopori ‘gerak maju’ peradaban menuju zaman modern atau apapun itu, tak lantas menghapus ketertarikanku menemukenali keberadaanya di kotaku Tasikmalaya.

Barangkali situasi yang terjadi belakangan ini mendikte persepsiku pada dialektikanya : Tasikmalaya, sebuah kota tanpa gedung bioskop. Bukan bioskop yang kehilangan penontonnya, tapi penonton kehilangan bioskopnya. Padahal bagiku, seni pertunjukan film pada masanya. Katakanlah, masa prakemerdekaan. Tak pernah menemukan bentuknya yang pasti, hanyalah serbakemungkinan. Anggaplah, dalam perhelatan pertamanya, mungkin bagiku bukan sebuah gedung pertunjukan khusus yang memutar film-film seperti lazimnya sebuah Bioskop. Mungkin hanya sebuah balai pertemuan bernama gedung Societit tempat berkumpulnya kalangan tertentu dari orang-orang penting yang memanjakan dirinya di lantai dansa, menghadiri jamuan makan malam lalu diakhiri pemutaran film bisu disertai iringan musik orckestra mini sesuai jenis film yang diputar. 

Pada perkembangannya, menurut majalah Reveu no 23 tahun 1936 terdapat 227 jumlah bioskop yang tersebar di seluruh pelosok tanah air termasuk salah satunya bernama Loxor Theatre. Mungkin adanya di kawasan ghetto atau kawasan elite seputar jalan Singaparna (Hazet), disamping Lembaga Permasyaratan dan kantor Residen. Disanalah sebuah balkon, lose dan kelas kambing (istilah bagi kaum pribumi yang saat menonton film ,selalu berisik seperti kambing) kehadirannya, tak diragukan lagi bukan hanya sekedar memenuhi hasrat para Meneer semata, pula mengisyaratkan status dan symbol prestise yang berpusar pada ideology kemapanan prasyarat kemajuan sebuah kota. Sampai semuanya berakhir dimasa pemerintah Hindia Belanda menyerah pada kekuasaan Jepang di  tahun 1942.

Di masa peralihan, keberadaan keberadaan Loxor Theatre nyaris tak terdengar lagi. Panggung sandiwara diangap lebih mangkus (efektif) dibanding harus latah, menjadikan film sebagai alat propaganda. Padahal apabila film yang diputar di bisokop diberi keleluasaan penuh mengejawantahkan perannya. Ceritanya akan berbeda. Mungkin bukan hanya kisah heroik KH. Haji Zaenal Mustofa yang terjadi di Tasikmalaya sekitar tahun 1942. Tapi ikon-ikon perjuangan dari kaum intelektual muda seperti yang terjadi di kota-kota besar lainnya. Dimana seni pertunjukan film menjadi fase penting dalam mendekatkan rasa kebangsaaan, diskursus perihal nasionalisme, gagasan-gagasan seperti Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT dan RW) yang didopsi dari film jepang, pelestarian budaya sunda dalam film Loetoeng Kasarung oleh Bupati Bandung, sampai kumpulan dari potongan gambar dalam ‘Indonesia Fight For Freedom’ yang berhasil meyakinkan dunia akan perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan Republiknya.

Bioskop setelahnya, katakanlah pasca kemerdekaan meneruskan lagi segala hal yang pernah ditinggalkan sebelumnya. Dilatari suara Si Kwik dan Si Kwong (sebutan bagi kereta uap) di antara ruang geometris pusat kota. Dalam lintasannya, bioskop Galoenggoeng berdiri. Menemukan realitasnya dalam pranata-pranata kota. Dimuka sebuah mesjid, pintunya yang bersebrangan telah  mengenalkan penonton pada dunia luar. Meski masih rambu-rambu kaidah agama dan norma etika masih terasa kental. Adanya keterlibatan para ulama melakukan pengawasan ketat tentang film apa saja yang boleh diputar, dipisahkannya tempat duduk antara pria dan wanita, pemutaran film diluar jam sholat, setidaknya mencerminkan kota Tasikmalaya sebagai kota yang toleran. sebuah pertemuan antara masyarakat yang teguh memegang tradisi dan modernisme. kemudian bioskop yang berganti nama menjadi Megaria ini, berhasil menempatkan bangunan serupa di masa kejayaannya. Sebut saja, bioskop Mustika (Parahiyangan), bioskop Capitol (Kujang), bioskop Merdeka ( Hergamanah), bioskop Sentosa (Nusantara), bioskop Garuda, Tasik theatre, Ciawi theatre, Empire group 21 Matahari, dan terakhir bioskop Parahiyangan yang ditutup oleh pengelolanya untuk dijadikan sebuah hotel, telah menambah daftar panjang gedung  pertunjukan film yang terpaksa harus tunduk pada sesuatu yang berada diluar kendalinya, sesuatu bernama takdir dan serta merta menjadi bagian dari masa silam. Sketsa samar tentang seorang anak yang disuruh melingkarkan tanggannya diatas kepala, meraih telinga sebagai syarat yang menunjukan usia yang diperkenankan menonton film, tersimpan rapi dalam setiap bingkai kesadaranku, tanpa perlu mempersoalkan lagi apakah sebuah bioskop masih menjadi ‘gerak maju’ peradaban modern atau menandakan kemapanan sebuah kota, tanpa perlu meromantisir kehilangan bioskopnya, memprovokasi untuk menjaga monument lama sebelum tercipta monument baru. Biarlah proses menemukan terindra, meski terkadang selalu membuatku sedikit gagap menceritakan mengapa kawasan Jl. Dr. Sukarjo menjadi kawasan ghetto bahkan sampai sekarang masih menjadi transit para bule yang singgah ? mungkin tulisan ini berusaha mengikat makna, hanya ingin menepuk bahu saling mengingatkan bahwasannya seni pertunjukan masih menjadi bagian yang tak terpisahkan. Bukankah, meminjam istilah MC Maccay “pale ink is more important then retentive, tinta yang pudar lebih baik dari sebuah ingatan ?”. akhirnya setelah kuhabiskan popcornku, dan beranjak pergi dari bioskop 21 di sebuah mall, meninggalkan semua ‘daya pikat seni pertunjukan film yang begitu mempesona’ jauh di belakangku.

Minggu, 22 April 2012

Disporaparbud di wilayah Jabar siap dukung pembuat film di daerah

BANDUNG (bisnis-jabar.com): Dinas Pemuda, Olahraga, Pariwisata, dan Kebudayaan (Disporaparbud) di wilayah Jawa Barat mendukung setiap pembuatan film di daerah. Setidaknya Disporaparbud di Kota Tasikmalaya, Kota Sukabumi, dan Kabupaten Majalengka telah melakukan langkah-langkah konkret dalam membantu sineas di daerahnya.
Hal tersebut terungkap saat Workshop Produksi Film/Sinetron dengan topik “Penyutradaraan Film Pendek” yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat beberapa waktu yang lalu. Acara tersebut mengundang seluruh perwakilan dinas terkait dan sineas dari seluruh kota/kabupaten di Jawa Barat.
Kasi Kebudayaan Disporaparbud Kota Sukabumi Cucu Ruswandi dan Yudi Aminuddin, seorang pembuat film, menunjukkan selama ini telah ada kerja sama yang baik antara pemerintah dan sineas di daerah.
“Kami yang ada di daerah akan kesulitan jika tidak bekerja sama dengan dinas terkait. Syukurnya Bapak Cucu ini yang juga orang panggung [teater], sangat membantu kami,” ujar Yudi kepada bisnis-jabar.
Yudi menerangkan bahwa di Sukabumi yang notabene tidak memiliki bioskop, dirinya bersama penggiat film lain dan juga dinas terkait berhasil mengaktifkan bioskop rakyat. Bioskop rakyat tersebut dibuka di Gedung Juang’45, Jl.Veteran Sukabumi.
“Di Sukabumi kan tidak ada jaringan bioskop 21. Jadi kami buat bioskop rakyat atas bantuan teman- teman dan pemerintah daerah juga. Film saya bisa diputar di sana dan antusiasmenya luar biasa,” ungkap mantan kru serial Keluarga Cemara ini.
Dukungan serupa terjadi di Kota Tasikmalaya. Kepala Disporaparbud Kota Tasikmalaya Erik Permana mengungkapkan bahwa pemerintah daerah sangat mendukung produksi film sebagai ekonomi kreatif di daerah.
“Di Tasik, para pembuat film ini kami fasilitasi. Gedung kesenian di Tasikmalaya bisa dimanfaatkan oleh para penggiat film. Selain itu karena pasti yang namanya bikin film itu butuh alat, jadi kami sediakan pula alat yang bisa dipinjam para pembuat film di Tasik,” paparnya.
Hal tersebut diamini oleh Rian Bungsu, pembuat film asal Tasikmalaya. Dia mengutarakan pihaknya cukup terbantu oleh dukungan yang diberikan pemerintah melalui Disporaparbud Kota Tasik. Kegiatan produksi film dapat terpantau oleh pemerintah daerah karena para pembuat film mau berkordinasi dengan dinas terkait. Hal itulah yang dilakukan oleh para penggiat film di Majalengka.
“Sebelumnya kan ada dari Majalengka itu finalis LA Lights Indie. Nah, kita coba kordinasi sama dinas untuk melaksanakan sharing ilmu dari dia [finalis tersebut]. Eh ternyata kerja sama bisa terus lanjut. Kami jadi terus didukung,” ucap Ferga, perwakilan sineas asal Majalengka.
Workshop hasil kerja sama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat dan Institut Kesenian Jakarta Jurusan Film ini bermaksud memfasilitasi pelaku industri film di Jawa Barat agar memperoleh ilmu yang dapat diterapkan dalam proses produksi film.
Selain itu, menurut Kepala Bidang Kesenian dan Perfilman Disparbud Jabar Agus Hanafiah, workshop tersebut menunjukkan bukti adanya fungsi pemerintah daerah sebagai regulator dan fasilitator. Dia berharap produksi film di daerah terus meningkat secara kuantitas dan kualitas. (m03/ajz)

Oleh Abdalah Gifar

22 April , 2012 | BisnisJabar.com

Kamis, 19 April 2012

Komunitas Film Tasik (Kofita), Garap Film "Wulan"

EdiMartoyo
PERBINCANGAN yang mengendap selama kurun tahun awal 2012, direkam Syswandi (Sanggar Kata). Jadilah sebuah fragmen serupa cerita pendek. Judulnya masih disamarkan. Tetapi sudah disebut-sebut "Rembulan" atau "Wulan", salah seorang tokohnya.
Teks sepuluh halaman kwarto itu, diakui Sys masih mentah. Tetapi, memang sudah dirancang sebagai konsep awal untuk film "Wulan" (sebut saja begitu, walau belum resmi).

Beberapa nama sudah disebut-sebut akan menjadi pemeran film. Di antaranya, Edi Martoyo dan Wan Orlet. Kedua aktivis teater Tasik berbeda generasi itu, dipandang pas menjadi tokoh Ambah Buwana dan Aki Purwa.

Kita tunggu, perkembangan selanjutnya. Diharapkan, usai acara April Move di Gedung Kesenian Tasikmalaya, 29 April mendatang, tim kreatif yang -- di antaranya -- digawangi Sys, Seno, Erbe, Panji, bisa langsung meresmikan peletakan scene pertama.



Catatan diskusi bersama Sys,
Gununggeulis, Rabu 18 April 2012

oleh :
Duddy RS   
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...