Minggu, 13 Desember 2015

SANG PENGARANG, KELELAWAR & RERUNTUHAN CAHAYA DI HIJI TEMPAT NU BIASA




SANG PENGARANG, KELELAWAR & RERUNTUHAN CAHAYA
DI HIJI TEMPAT NU BIASA

Atas kuasa gelap, dan mata yang dibutakan cahaya. Maka, kupinjam penglihatan kelelawar seperti dalam puisi cinta Ibn Arabi. Lalu, kudiami reruntuhan bangunan, menajamkan mataku yang lemah, berdialog dengan apa yang kulihat dan membawa reruntuhan pemikiranku sebagai apresiasi terhadap pertunjukan drama “Di Hiji Tempat Nu Biasa” garapan Teater Dongkrak yang akan dipentaskan kembali, Selasa, 15 Desember 2015 di Gedung Kesenian Tasikmalaya.


Pada mulanya; Seorang pengembara, ikhtiar yang muskil dan perjalanan menuju kesunyataan. Dalam kelelahan pencariannya, ia tertidur berbantalkan batu dan bermimpi tentang tangga menuju kahyangan. Sampailah ia pada semerbak dupa, dan lidah perapian yang menjilati kotoran jiwa. Di persinggahan celah langit dan rongga bumi itulah, orang-orang suci memotong lidah untuk merahasiahkannya. Ia tak menemukan apapun selain tilas gamang. Dihadapan nirwaktu, para Sanghiyang tilem. Ia kemudian terbangun, menyusun batu disekitarnya menyerupai tangga dalam mimpi, membawa ritual sesembahan yang semula transenden menjadi pencapaian kewaskitaanya (intelektual) dalam menerjemahkan naskah Di Hiji Tempat Nu Biasa. Terlemparlah sang diri menemui denyut hening naskah. Ia menemukan titik yang sama, tangga sakral penghubung jagat sekala-niskala, diktum sakral-profan melalui simbol cahaya yang dipercaya sebagai ambrosia (sesajen) bagi sanghiyang dewata.

Dengan mantra hukum ke tujuh, kord surgawi, dan akal kesepuluh. Siapa yang lupa dengan asal suara? Denting adalah kuncup suara pembuka pertunjukan. Kelopak irama mekar, menghasilkan bunyi musik yang terdengar acak. Lalu, sunyi, tak ada suara. Dari sudut tergelap, tarian cahaya hadir dipersembahkan houri-houri (bidadari surga) mengikuti irama detak jantung. Perlahan, spektrumnya bergetar lalu pecah, menghadirkan kelahiran semesta yang semerawut menuju keselarasan dalam tangga harmonik tubuh manusia. Seperti alur dalam hidup. Siapa yang mampu menyesuaikan diri, mengikuti arusnya akan menemukan semesta kesadaran bahwa segala sesuatu berjalan karena ada getaran. Tanpanya, tak ada gerak, tak ada adegan, tak ada peristiwa kehidupan.

Panggung gelap. Di singgasana—tempat yang sedemikian kuasanya, sang pengarang gelisah dalam kesendirian. “Di dieu, sakabehna bakal kajadian. Sanggeus lalangse dibuka. Urang dipatepungkeun ku saban adegan. Nepungan sakur implengan. Nu kasampeur jeng nu kudu diiklaskeun. Enya, di tempat nu geus jadi milik urang. Tempat urang ngareka ungkara, ngimpleng ku rasa wenang. Najan mindeng kudu beda ulesna jeng nu di pikahayang,” ucapnya hibiru, menceritakan pengetahuan yang hilang. Hening, gulita memelukku. Terdengarlah beradunya dua batu besar. Pembacaanku menjadi lengkap, bilamana memahaminya dalam perspektif sufisme bahwa hal pertama adalah mendengar, melihat lalu mendapatkan pengetahuan. Bukankah melalui pendengaran, seorang murid mendapat pengetahuan dari gurunya? Sang pengarang sadar, ia memberi penglihatan kepada penonton, dan mengutus para prajurit cahaya (pembawa lampu senter) ke bibir panggung, menunjukan simbol persia kuno tentang ketiadaan menuju keberadaan atau­—meminjam uraian filsafat cahaya Al Ghazali dalam kitab Misykat Al Anwar disebut penampakan objek dan subjek yang memungkinkan terlihat karena ada unsur lain yaitu, cahaya—terlimpahi bentuk batu, tokoh dan semua adegan oleh pancaran cahaya disertai bayangan di dinding panggung. Seolah, menakwilkan laku pandita yang memahat ajarannya pada retakan dinding suci, mewartakan realita hidup dalam perang abadi antara gelap dan terang.

Cahaya sebagaimana gelap adalah simbol yang membenihkan kejut dalam penggungkapannya. Aku menyebutnya, reruntuhan cahaya. Reruntuhan berarti jamak, terjadi lebih sekali dan berterusan di tempat yang sama. Cahaya itu jatuh, bukan berjatuhan. Sang pengarang merubah aturan dasar cahaya. Diawali koor cluk-clak, terciptalah gerimis dari cahaya yang mengantarkan sepasang kekasih dalam sebuah pertemuan. "Gerimisna angger keneh, gerimis ti langit 13 taun ka tukang...ambuna, rasana taya bedana..." perempuan cantik itu menutup payung dan membiarkan tubuhnya dibasahi gerimis. Di Hiji tempat nu biasa, cahaya cinta merangkuhnya keduanya dalam keseluruhan. Ada pula eksplorasi cahaya dalam memahamkan arti waktu, jarak dan tingkatan. Seberapa lama dan seberapa dekat, sesuatu dengan sumber cahaya akan lebih terlihat lebih jelas dan merujuk pada hirarki cahaya. Inilah yang dimaksud kitab Hikmatul Isyraq kesadaran atas realita diri. Rahasia azali sebagai kunci peralihan tunggal: menjadikan diri sebagai kolam jernih yang menangkap cahaya bulan.

Dalam reruntuhan cahaya, kupinjam identitas kelelawar berkaitan batas wilayah. Keterlibatanku dalam teater bukan atas ketertarikan tapi secara tidak sengaja dipercaya dua kali sebagai tim visual dalam pertunjukan Ambu Hawuk karya Ab Asmarandana sebagai tugas akhir kelulusan S2, ISI Jogjakarta dan drama Di Hiji Tempat Nu Biasa, pemenang Festival Drama Basa Sunda di gedung Rumentang Siang, Bandung. Tapi tulisan ini bukan tentang kemenangan, melainkan kekesalanku menyebut petunjukan ini bagus tanpa mengerti arti bagus itu sendiri. Kant menyebutnya pengalaman estetik, kemampuan seseorang menangkap makna dan menemukan cerita atau merasakan emosinya. Dalam bahasa sederhana, inilah caraku melihat tanda dan penanda dalam pertunjukan. Aku terjaga, menaklukan ketakutanku atas cahaya yang membutakan mata, dan menemukan diriku dalam genggaman rahasiah-Nya.

Siapa sang pengarang? Melalui penceritaan siklikal, ia menciptakan dua tokoh berbeda cara pandang. Satu linear dan satu lagi melingkar. Keduanya terjebak dalam daur Vaitarni yaitu pengulangan. Apa yang akan datang akan terus mendatangimu, pergi sejauh apapun keduanya akan terjebak di tempat yang sama. Keduanya berontak, dan marah atas takdir karena hidup tak lebih dari lingkaran. Hanya yang mengenal rumus keliling, mengitarinya dan menarik garis radius menuju titik pusat (diri) akan mendapatkan pencerahan. Bahkan aku menduga pengulangan pementasan ini, menyisakan satu kemungkinan: pencarian jawab atas persoalan yang belum selesai yaitu pencarian diri. Dalam teks filosofis, diri adalah cahaya (ruh) yang menjadi ladasan segala pengetahuan. Adanya ruh memperkuat tiga alam sebelumnya, menjadi bukti adanya Tuhan. Hanya ruh yang pernah mendiami sorga, menyaksikan kelahiran semesta dan berdialog dengan Tuhan. Pertanyaannya, bagaimana manusia tahu dirinya cahaya? Sejak lahir ingatannya terputus dan tugasnya di dunia adalah menghubungkannya kembali. Tradisi Buddhisme mengenal avidya (tidak melihat), anamnesis menurut Plato, proses mengingat kembali karena kita lupa terhadap segala pengetahuan dan mulai belajar segalanya dari awal lagi. Kesadaran inilah yang sedang diungkapkan, ditenggelamkan, dikembalikan lagi pada kesadaran sampai kita semua memahaminya. Seperti lilin dalam matahari, kau tidak menyadari dirimu cahaya kalau berada di tengah Cahaya Maha Terang (Tuhan). Sang pengarang tahu jalan keluarnya. Lalu, ia mengelilingi setiap tokohnya dengan kegelapan. "Di hiji tempat biasa, sakabehna bakal kajadian. Sakabehna bakal diciptakeun. Tapi dina sakabeh lalakon taya nu bisa dicindeukkeun. Lian ti kosong nu menta eusi. Lian ti eusi nu menta dikosongkeun deui. Kuring ngan saukur pangarang, sedeng tokoh nu ku kuring diciptakeun, salawasna aya dina saluareun carita nu teu bisa di peruhkeun....kuring ngan saukur pangarang," usai menyampaikan hakikat diri sebagai pengetahuan yang hilang. Di atas singgasana, ia turun ke alam niskala, dan mengalami apa yang disebut kenosis, mengosongkan diri menjadi seorang hamba.

Tapi siapa yang ada dibalik sang pengarang? Tentu saja, ada dua nama Nunu Nazarudin Azhar sebagai penulis naskah dan Wit Jabo sebagai sutradara yang mengingatkanku pada cerita Rama dan Krishna. Dua riwayat hidup, berbeda petualangan. Saat Ramayana berakhir, Mahabharata dimulai, Rama bertugas, Krishna pulang. Begitupula, Nazarudin Azhar dan Wit Jabo, saat naskah selesai, sutradara mengejawantahkannya dalam pertunjukan. Aku melihat kesamaan, dua wajah dengan karakter berbeda tapi satu dalam tubuh Teater Dongkrak.

Dalam diorama singkat, ada pengetahuan yang hilang, selaksa hakikat diri yang menjadi pesan pertunjukan. Meski kilasan impresiku, hampir menyandingkan kesendirian sang pengarang dengan alam lata’yin semasa Tuhan bersendirian dengan diri-Nya, alam ilmu-Nya dalam mencipta segala sesuatu, dan alam misal dalam dialog pemberontakan? Bukan mustahil dalam pertunjukan nanti, diselipkan simbol permulaan segala sesuatu yang tercipta dari satu bahan, subtansi yang sama dalam bentuk berbeda yaitu cahaya. Dilanjutkan, ajaran rahasia sebagai puncak pengetahuan yang kelak disampaikan mesiah di akhir zaman, dan maqam tertinggi yang mengantarkan manusia mengenal hakikat Tuhan. Lalu, melengkapinya dengan simbol penutup kunhi Zat sebagai batas penghabisan pengetahuan mahluk hidup. Akhirnya dalam ledakan zarah yang belum kupahami seutuhnya. Cahaya dalam panggung padam total, terhenti semua. Aku terbangun, seolah selesai memasuki mimpi. Argus memiliki ratusan mata, Dasamuka puluhan mata, aku dan kau hanya sepasang mata. Siapa yang mampu melihat dan memahaminya? Lupakan cahaya, ia bukan lenyap tapi senyatanya ada dalam dirimu. Wilujeng Milangkala Teater Dongkrak Nu ka 25, Prung ah!


Teks: Sys W, pegiat komunitas film dan aktif di Balaka. Ilustrasi:
Wisnu Pamungkas, aktifis Senam Pensil, ISI Jogjakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...